Air Mata Tua

Penjaga kuburan mendekatinya dan bertanya:”Kenapa Nenek
menangis?”
Diangkatnya kepalanya pelan-pelan, dipandangnya penjaga kuburan
itu agak lama, dan suaranya yang gemetar dan tua itu berkata:”Kalaulah
cucuku dapat bertanya seperti engkau itu.” Dia berhenti sebentar, dihapusnya
air matanya. “Engkau sendiri bekerja di sini?” tanyanya kemudian.
“Ya”.
“Sepantasnya engkau masuk surga, Nak”.
Kemudian penjaga kuburan itu duduk di semen kuburan itu dan nenek
itu berkata: “Kuburan-kuburan di sini bersih. Kalau nanti saya dikuburkan
di sini, kau bersihkanlah kuburanku itu baik-baik, Nak.”
“Nenek begini segar. Nenek masih lama lagi akan hidup,” kata penjaga
kuburan itu.
“Benar, saya masih akan lama hidup?”
“Benar, Nek” dan penjaga kuburan itu sambil mempermainkan lidi
sapunya dan berkata lagi: “Nenek masih kuat. Nenek saya lihat berjalan ke
sini tidak pakai tongkat dan masih kuat.”
“Kalaulah cucuku bisa menghibur saya macam kamu,” kata
perempuan tua itu sambil menghapus air matanya yang pelan-pelan berjalan
dari pinggir matanya menuju pipi.
“Cucuku ada lima orang, Nak. Tak seorang pun yang menanyakan
kesehatanku, apalagi kesedihanku. Kalau mereka memberiku makan, bukan
mereka yang mengatakan, “Makanlah, Nek, tapi si babu, cuma si babu yang
mengatakan itu. Si babu mengaji kalau saya sudah mengantuk,” perempuan
tua itu menangis lagi. “Pagi ini si babu membersihkan ladang. Ladang itu
sebenarnya adalah ladangku, tapi cucu-cucuku menganggap ladang itu
ladang mereka. Pada waktu musim memetik jeruk, saya cuma bisa makan
tiga buah jeruknya saja. Itu pun bukan yang manis-manis.”
“Di mana Nenek tinggal?”
“Di dapur, bersama si babu.”
“Di dapur?”
“Ya, di dapur, bersama-sama si babu. Kalau pagi saya kedinginan.”
Tangan tua nenek yang tua itu menepuk-nepuk semen kuburan itu. “Ini
kuburan Adam. Adam adalah suamiku,” katanya.
“Sudah lama suami nenek meninggal dunia?”
“Baru sepuluh tahun ini. Waktu Adam masih hidup, sama-sama kami
mandi di sumur. Adam yang menimbakan air untukku. Saya ingin lekaslekas
mati saja. Sepuluh tahun lamanya saya disiksa oleh cucu-cucuku itu.

Mula-mula saya tidur di kamar depan. Lalu, ketika cucuku yang tertua
kawin, saya dipindahkan ke kamar tengah. Ia kawin dan beranak, dan saya
dipindahkan lagi ke kamar belakang. Dan sekarang, saya menempati dapur
bersama-sama si babu. Kalau pagi saya merasa dingin. Si babu juga mengaji
kalau subuh,” dan dibetulkannya kerudungnya, lalu berkata: “Si babu pintar
sekali mengaji.”
Lalu nenek tua itu berkata lagi:”Musim memetik jeruk yang lalu,
saya cuma dapat tiga jeruk, itu pun yang masam-masam.”
“Yang masam-masam? Yang manis-manis untuk mereka?”
Kini pandangannya dengan matanya yang tua itu berputar ke arah
kuburan-kuburan sekeliling. “He!” gemetar ia tiba-tiba. “Tanah pekuburan
ini sudah penuh semuanya. Di mana nanti saya akan dikuburkan?”
“Masih ada sedikit, di sana,” kata penjaga kuburan itu.
“Sedikit?”
“Ya, sedikit.”
“Masih banyak lagikah yang akan mati, Nak?” tanyanya dengan
gelisah, dan kemudian bertanya lagi: Di mana nanti saya akan dikuburkan?”
“Kenapa nenek sampai berkata begitu?” tanya penjaga kuburan itu dengan
cemas pula.
“Saya sudah tua dan bukankah sebentar lagi mati? Di mana saya akan
dikuburkan? Saya tidak bisa mengumpulkan uang lagi sejak cucu-ucuku
tidak membagikan hasil penjualan buah-buahan ladangku. Ladang buahbuahan
itu sayalah yang punya. Padahal Adam yang membeli semua itu,
ketika kami baru kawin dan ketika itu saya tidak tua berkerinyut seperti ini.
Pohon-pohon jeruk itu Adam yang nanam. Tapi cucu-cucuku cuma
memberiku tiga buah jeruk saja, itu pun bukan yang manis-manis.”
Dia menangis tersedu-sedu dan berkata: “cuma ini uang simpananku.
Kamu hitunglah, Nak. Cukupkah buat beli tanah kuburan?”
Tangan tuanya meraba-raba stagennya dan memberikan uang yang
terlipat baik-baik itu kepada penjaga kuburan itu. Penjaga kuburan itu
menghitung-hitung dan kemudian tertawa.
“Kenapa kamu tertawa, Nak? Apa tidak cukup? tanyanya.
“Yang tiga lembar ini sudah tidak laku lagi,” jawab penjaga kuburan.
“Tidak laku? Itu adalah uang pensiun Adam yang kusimpan baikbaik.
Kenapa tidak laku lagi? Apa uang palsu? Tidak mungkin!”
“Uang ini sudah lama dinyatakan tidak berlaku lagi, Nek,” sahut
penjaga kuburan.
“Kenapa?”
Penjaga kuburan itu tak bisa menjawab.
“Tidak cukupkah membeli tanah kuburan dengan uang yang laku saja
itu?” tanya nenek tua itu tiba-tiba. Lalu dipandangnya tanah kuburan
sekeliling, dan dia berkata lagi: “Sudah penuh semua. Saya, musti membeli
yang sedikit itu. Saya tidak punya harta dan uang lagi selain itu. Tidak
cukupkah uang itu, Nak?”

“Belum cukup, Nek.”
“Belum cukup? Bagaimana akalku? Saya takkan minta pada cucucucuku
itu, karena mereka pun pasti tak mau memberi. Mereka cuma mau
mengambil kepunyaanku, sampai jeruk-jerukku pun diambilnya.”
Kini penjaga kuburan itu melihat perempuan tua itu merundukkan kepalanya
dan tiba-tiba dilihatnya seuntai kalung emas berayun-ayun di leher
perempuan tua itu.
“Nenek masih punya harta. Jangan kuatir! Semua itu bisa dibelikan
tanah kosong yang enam meter persegi,” kata penjaga kubur.
“Saya tidak punya apa-apa lagi kecuali uang itu dan yang tiga lembar
yang tidak laku itu.”
“Nenek masih punya kalung ringgitan emas.”
Perempuan tua itu terkejut dan tangan tua meraba ringgit yang tergantung
di lehernya. “Ini? Oh, ini pemberian Adam waktu kami kawin dulu.”
“Kalau nenek mau benar-benar membeli tanah pekuburan, jual sajalah,
Nek, kalung emas itu.”
“Dijual?” suaranya gemetar lebih hebat. “Apa saya mau dikutuk oleh
almarhum suamiku?”
Penjaga itu terdiam, tapi tetap dipandangnya nenek tua itu dengan
pandangan yang bersungguh-sungguh. Perempuan tua itu memandang ke
sekeliling lagi. Tanah-tanah pekuburan di sekitarnya ditangkapnya dengan
pandangan matanya yang tua, dengan linu.
“Emas tidak dibawa mati, ya, ya, emas tidak tidak dibawa mati. Saya
ingin dikubur di kuburan Adam. Ya, ya saya harus membeli tanah itu. Emas
memang tidak dibawa mati, Nak.”
Sejak dia keluar dari gerbang pekuburan, air matanya semakin kering.
Dan, sejak itu pula, setiap akan tidur sambil mendengar si babu mengaji
terbayang dalam angan-angannya yang tua sebuah pekuburan yang bersih
di mana ia tidur baik-baik di bawah permukaannya, di mana rohnya akan
bertemu dengan roh Adam, suaminya yang tercinta.
Dia telah membeli tanah itu! Dia seakan-akan telah membeli harga
yang terakhir dari masa hidupnya. Setiap malam dia berdoa dan mohon
kepada Tuhan agar saat itu pun tiba baginya.
Suatu malam ketika dia penuh dengan angan-angan, terdengar pintu
dapur diketuk orang. Siapa yang mengetuk pintu, malam-malam begini?
Apa si babu sudah tidur?
“Babu, bangunlah. Ada orang mengetuk pintu kita.”
Si babu tersentak. Ketika itu kepalanya di atas kitab suci. Matanya
sama menatap pintu itu dengan segala kecemasan dan sekali-kali ia melihat
kepada nenek tua yang sedang terbujur tidur
“Kaukira itu maling? Jangan takut, Babu. Kalau itu maling, apa yang
akan mereka ambil di dapur ini?”
“Bukan maling, Nek,” kata si babu, lalu berdiri dan kemudian
membukakan pintu. Seorang lelaki berdiri di pintu.

“Siapa itu, Babu?”
“Rakhman, Nek.”
“Rakhman, cucuku? Kenapa kau datang malam-malam begini, ke
sini? Biasanya tidak pernah”.
“Nenek harus pindah, malam ini juga, Nek,” kata lelaki itu.
Nenek itu mencoba sekuat tenaga membangunkan dirinya.
“Pindah? Kemana lagi kalian akan lemparkan diriku sekarang?”
Lelaki itu berjongkok. “Dokter menyuruh pindah,” katanya.
“Dokter”
“Ya, dokter!”
“Apa hak dokter, makanya ia mau lemparkan diriku! Bukankah rumah
ini pembelian Adam?”
“Ada wabah kolera. anak-anak diserang kolera.”
Kemudian masuk lagi seorang lelaki. Dialah dokter itu. Dan dokter
kemudian menjelaskan kepada nenek tua itu agar pindah ke rumah sakit
untuk menghindarkan penularan penyakit kolera.
“Baiklah, baiklah anak muda. Tapi biar pun di mana saja kalian
lemparkan saya, saya kan akan mati juga,” katanya. “Tapi jangan pisahkan
saya dari si babu,” katanya lagi.
Namun, dia tetap dipisahkan dari si babu. Kalau malam dia merasa
sunyi sekali, tidak didengarnya suara orang mengaji. Yang didengarnya
adalah suara orang-orang-orang yang merintih-rintih, bermimpi, mengigau,
dan bau-bau yang tidak enak bagi hidungnya yang telah tua dan keriput itu.
Setiap juru rawat masuk ke kamarnya nenek itu selalu bertanya, kapan dia
boleh keluar?
Suatu saat seorang juru rawat membisikkan di telinganya dengan suara
hati-hati bahwa semua cucunya dan si babu telah meninggal dunia
“Si babu juga?” tanyanya cemas.
“Ya. Dia juga meninggal dunia.”
“Oh, dengan siapa lagi saya akan tinggal?” tanyanya sedih.
“Dengan kami.”
Sore itu seorang juru rawat mengantarnya ke pekuburan, di mana
cucu-cucunya seluruhnya dikuburkan dan juga di mana si babu ikut tertimbun
dengan tanah-tanah itu. Perempuan tua itu menangis tersedu-sedu hingga
juru rawat itu payah sekali membujuknya untuk pulang.
Kini, perempuan tua itu dengan matanya yang tua itu mencoba
melihat ke sekeliling, dan dengan pandangan tuanya ia tidak melihat
setumpak pun tanah yang kosong.
“Sudahlah, Nek. Jangan menangis lagi. Mari pulang,” ajak perempuan
muda itu.
Perempuan tua itu menjawab: “Saya sedih sekali, Nak.”
“Kenapa? Bukankah mereka sudah selamat dikuburkan?”

“Bukan itu. Bukan itu. Saya sedih di mana saya akan dikuburkan
nanti? Semua tanah itu sudah penuh. Saya sudah menjual ringgit emas
pemberian suamiku, dan telah kubeli tanah ini untuk kuburan saya, tapi
sekarang mereka yang memakai tanah ini buat kuburan mereka.”
“Di mana lagi, coba, tanah untuk saya?” sambung si nenek itu. “Semua
sudah terisi. Waktu hidupnya, mereka cuma memberiku tiga buah jeruk, itu
pun jeruk-jerukku, dan waktu mati.”
“Sudahlah, Nek, mari kita pulang.”
“Saya tidak akan pulang.”
Dan perempuan tua itu dengan tersedu-sedu berkatalah lagi:”Cobalah
kaupikir, Nak, di mana saya akan dikuburkan. Tanah-tanah di sini semua
sudah terisi!”
Dan perempuan muda itu tidak dapat menjawabnya.
Dan perempuan tua itu melihat dengan mata tuanya lagi, ke sekeliling.
Dan pandang tuanya yang sudah layu itu tidak menangkap lagi setumpak
pun tanah yang kosong.
Ketika itulah air matanya berjalan pelan-pelan, dari pinggir pelupuk
matanya ke daging-daging pipinya, seperti seorang tua berjalan pelan-pelan
di pinggir tebing menuruni sebuah lembah.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Sejarah Cerpen

Cerita pendek atau sering disingkat sebagai cerpen adalah suatu bentuk prosa naratif fiktif. Cerita pendek cenderung padat dan langsung pada tujuannya dibandingkan karya-karya fiksi yang lebih panjang, seperti novella (dalam pengertian modern) dan novel. Karena singkatnya, cerita-cerita pendek yang sukses mengandalkan teknik-teknik sastra sepertitokoh, plot, tema, bahasa dan insight secara lebih luas dibandingkan dengan fiksi yang lebih panjang. Ceritanya bisa dalam berbagai jenis.

Cerita pendek berasal dari anekdot, sebuah situasi yang digambarkan singkat yang dengan cepat tiba pada tujuannya, dengan parallel pada tradisi penceritaan lisan. Dengan munculnya novel yang realistis, cerita pendek berkembang sebagai sebuah miniatur.
Cerita pendek berasal-mula pada tradisi penceritaan lisan yang menghasilkan kisah-kisah terkenal seperti Iliad danOdyssey karya Homer. Kisah-kisah tersebut disampaikan dalam bentuk puisi yang berirama, dengan irama yang berfungsi sebagai alat untuk menolong orang untuk mengingat ceritanya. Bagian-bagian singkat dari kisah-kisah ini dipusatkan pada naratif-naratif individu yang dapat disampaikan pada satu kesempatan pendek. Keseluruhan kisahnya baru terlihat apabila keseluruhan bagian cerita tersebut telah disampaikan.
Fabel, yang umumnya berupa cerita rakyat dengan pesan-pesan moral di dalamnya, konon dianggap oleh sejarahwan Yunani Herodotus sebagai hasil temuan seorang budak Yunani yang bernama Aesop pada abad ke-6 SM (meskipun ada kisah-kisah lain yang berasal dari bangsa-bangsa lain yang dianggap berasal dari Aesop). Fabel-fabel kuno ini kini dikenal sebagai Fabel Aesop. Akan tetapi ada pula yang memberikan definisi lain terkait istilah Fabel. Fabel, dalam khazanah Sastra Indonesia seringkali, diartikan sebagai cerita tentang binatang. Cerita fabel yang populer misalnya Kisah Si Kancil, dan sebagainya.
Bentuk kuno lainnya dari cerita pendek, yakni anekdot, populer pada masa Kekaisaran Romawi. Anekdot berfungsi seperti perumpamaan, sebuah cerita realistis yang singkat, yang mencakup satu pesan atau tujuan. Banyak dari anekdot Romawi yang bertahan belakangan dikumpulkan dalam Gesta Romanorum pada abad ke-13 atau 14. Anekdot tetap populer di Eropa hingga abad ke-18, ketika surat-surat anekdot berisi fiksi karya Sir Roger de Coverley diterbitkan.
Di Eropa, tradisi bercerita lisan mulai berkembang menjadi cerita-cerita tertulis pada awal abad ke-14, terutama sekali dengan terbitnya karya Geoffrey Chaucer Canterbury Tales dan karya Giovanni Boccaccio Decameron. Kedua buku ini disusun dari cerita-cerita pendek yang terpisah (yang merentang dari anekdot lucu ke fiksi sastra yang dikarang dengan baik), yang ditempatkan di dalam cerita naratif yang lebih besar (sebuah cerita kerangka), meskipun perangkat cerita kerangka tidak diadopsi oleh semua penulis. Pada akhir abad ke-16, sebagian dari cerita-cerita pendek yang paling populer di Eropa adalah “novella” kelam yang tragis karya Matteo Bandello (khususnya dalam terjemahan Perancisnya). Pada masa Renaisan, istilah novella digunakan untuk merujuk pada cerita-cerita pendek.
Pada pertengahan abad ke-17 di Perancis terjadi perkembangan novel pendek yang diperhalus, “nouvelle”, oleh pengarang-pengarang seperti Madame de Lafayette. Pada 1690-an, dongeng-dongeng tradisional mulai diterbitkan (salah satu dari kumpulan yang paling terkenal adalah karya Charles Perrault). Munculnya terjemahan modern pertama Seribu Satu Malam karya Antoine Galland (dari 1704; terjemahan lainnya muncul pada 1710–12) menimbulkan pengaruh yang hebat terhadap cerita-cerita pendek Eropa karya Voltaire, Diderot dan lain-lainnya pada abad ke-18.
Di Yunani,  cerpen  klasik berupa fabel yaitu cerita yang pelakunya para binatang yang dimanusiakan. Fabel ini mulai beredar di masyarakat sekitar 500 SM tetapi baru ditulis dengan rapi pada abad II. Pada abad kedelapan, lahirlah serialcerpen lisan klasik 1001 Malam. Cerpen klasik bertema romabtik ini pertama kali dipublikasikan dalam bentuk buku pada tahun 1704 di Prancis.
Di Prancis, lahirnya cerpen dipelopori oloeh Guy de Maupassant(1850-1893). Guy juga termasuk bapak cerpen dunia.Guy yang pernah belajar di seminari, dikenal piawai dalam merangkai plot cerita yang ditulisnya dengan bahasa yang sangat indah dan memberikan kesan kelembutan. Salah satu cerpen yang mendunia berjudul The Neckale. Cerpen ini terhimpun dalam buku kumpulan berjudul Contes du jour et de la nuit(1885). Selain itu masih ada 11 buku kumpulan cerpen lainnya, yang diterbitkan hanya dalam rentang waktu lima tahun. Kemudia ia menulis novel dan naskah drama.Ia sangat produktif, ditengah kesibukannya dalam kancah politik.
Sejak itulah cerpen memasyarakat dan lahirlah cerpen modern. Karya tersebut dipublikasikan di berbagai media cetak , khususnya majalah sastra.Cerpen berkembang pesat sejak pertengahan Abad XIX, tidak hany di Eropa tapi juga di Amerika Serikat. Washington Irving(1783-1859), Edgar Allen Poe(1809-1849) dan Anton Chekhov (1860-1904) digelari sebagai bapak cerpen dunia oleh para kritikus.
Anton Chekhov, sastrawan Rusia, bahkan menjadi pengarang pertama yang mampu menulis cerpen yang sangat pendek. Chekhov dikenal sebagai sastrawan yang sulit di tandingi, kecuali oleh Guy de Maupasssant. Kehebatan karya Chekov terletak pada pendeknya. Tetapi karyanya yang paling pendek pun tetap utuh, selesai dan indah. Selain itu, ia jugamenulis novel, naskah drama dan skenario film.
Sedangkan Edgar Allen Poe dipuji sebagai sastrawan yang mampu menulis cerpen tipe well-made short-story yang sangat indah dan utuh. Cerpennya yang berjudul The Cask of Amontillado sangat termashur. Lain lagi denganWashington Irving, daya tarik karya cerpennya terletak pada temanya yang dianggap mampu menghibur pembacanya. Ia mengangkat masalah-masalah sosial untuk dijadikan cerpen yang dibumbui humor. Pengarang ini tekun melakukan studi, khususnya studi mengenai sejarah Eropa dan Amerika.
Awalnya dari Mesir
Dalam sejarah-sastra dunia, Mesir kuno disebut-sebut sebagai asal muasal tradisi penulisan cerpen, tepatnya pada 3200 SM. Cerpen tertua di dunia ditemukan dalam lembar daun lontar yang diperkirakan dituis sekitar tahun 3000 SM. Selain itu ditemukan pula flash-flash di nisan-nisan kuburan tua di Mesir. Bahkan, konon banyak karya cerpen Mesir yang kemudian disadur menjadi naskah drama, salah satunya seperti yang terjadi pada kisah Piramus dan Tisbi oleh sastrawan Shekespeare.
Cerpen lalu berkembang di tanah Eropa pada 1812. Amerika baru mengenal cerpen pada 1912 hingga dikenallah kemudian nama Edgar Allan Poe disebuat sebagai bapak cerpen bersifat detektif, sementara Nathanael Hawthorne terkenal dengan sisipan falsafah dalam setiap karya cerpennya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Terlambat

Buru-buru aku menarik trolley bagku, tas selempang besarku ternyata mengganggu langkah kakiku. Suasana ribut dan penuh sesak. Aku menghela nafas panjang, mencoba mencari udara segar.
“Mama, Vio haus…,” Tangan kiriku ditarik perlahan. Aku tersenyum menatap wajahnya dan menghapus keringat di keningnya.
“Pelan-pelan minumnya,” Aku menunduk dan membuka botol minumnya.
Aku menarik tas selempangku dan meletakkannya di atas trolley bag. Kugendong Vio dalam pelukanku. Dia menyandarkan kepalanya di bahuku. Delay berjam-jam di Soekarno Hatta dan cuaca yang lagi tidak bagus membuat perjalanan terasa melelahkan.
Bandara Supadio Pontianak, sudah hampir lima tahun sejak kejadian itu. Selamat datang kembali dan semoga semuanya tetap menyenangkan.
Dulu aku pergi meninggalkan kota ini setelah kalah. Kalah melawan siapa? Entahlah, aku cuma merasa seperti seorang pecundang. Ya, aku memang pengecut dan terlalu mudah menyerah. Setelah sekian lama aku sadar, ini semua tidak ada gunanya. Buat apa aku bersembunyi dan melarikan diri seperti ini. Toh, sekarang aku sudah punya kehidupan sendiri.
Rasanya kepulanganku kali ini juga menunjukkan kekalahanku lainnya. Aku pergi karena kalah, kembali juga karena kalah. Tidak! Kali ini aku bukan kalah. Buktinya aku malah merasa lebih baik.
Derit suara roda dan riuh suara orang-orang bercampur satu. Aku kewalahan menarik trolley bag dengan Vio di gendonganku, dia sudah setengah tertidur. Aku menghentikan langkahku di depan pelataran bandara.
Sejenak kuhirup udara yang ada di sekelilingku. Aroma udara ini sudah lama hampir kulupakan. Aroma hujan bercampur aroma tanah. Dadaku terasa sesak. Kuhembuskan nafas, membuang semua beban yang terus menari-nari di kepalaku.
Seorang supir taxi menghampiriku, aku menyebutkan tempat tujuanku. Si supir mengganguk dan kemudian membantuku membawa tasku. Aku duduk di belakang supaya bisa membaringkan Vio, dia sudah nampak kelelahan. Aku menciumnya sekilas. Kuambil boneka spongebob kesukaannya sebagai bantal dan membiarkan dia tertidur di pahaku.
Hujan rintik-rintik masih mengiringi sepanjang jalan. Aku termenung sambil melihat keluar. Jantungku berdegub dan terasa sulit bernafas. Aku menarik nafas panjang, semuanya pasti bakal baik-baik saja.

“Mama, bukain es krimnya,” Rengek Vio. Aku menoleh sekilas.
“Sebentar ya, sayang. Tunggu di lampu merah,”
Ini hari pertamaku membawa Vio mengelilingi kota Pontianak. Dari pagi dia sudah merengek-rengek minta jalan-jalan, tidak perduli kakeknya yang membujuk akan membawanya ke tambak udang nanti sore. Yang dia mau, harus pagi ini.
Mobilku melintasi jalan Sultan Abdurrahman. Seperti pagi di lima tahun yang lalu, jalan ini selalu macet jika pagi. Sesaknya jalan karena pekerja kantoran dan anak-anak sekolah berebutan menguasai jalan.
Aku mengelus rambut Vio perlahan. Rambut ikal Vio terasa lembut di tanganku. Satu hal yang membuat Vio nampak berbeda denganku, hanya rambutnya.
Aku memiliki rambut hitam, tebal dan lurus, sedang rambut Vio agak kemerahan, tipis, dan bergelombang. Kata orang, Vio mirip Nugraha. Tapi aku selalu menyangkal, lihatlah matanya, hidungnya, mulutnya, semuanya mirip aku. Bahkan dia juga cerewet dan keras kepala sepertiku.
“Besok beli yang rasa stroberi ya, ma,” Kata Vio dengan nada cadelnya.
“Tadi kenapa nggak ambil dua,”
“Nggak mau, hari ini Vio pengen makan yang coklat dulu. Besok baru yang stroberi,” Katanya lagi. Aku tertawa mendengar perkataannya.
Vio bernyanyi mengikuti alunan lagu yang keluar dari speaker mobil. Entah lagu apa yang dinyanyikannya, yang pasti bisa membuat aku tersenyum menahan tawa. Setelah semua hal berat yang telah kulalui, kurasa Vio-lah yang menguatkanku.
Tiba-tiba sebuah hentakan keras dari belakang membuat aku terbentur ke depan. Kepalaku mendadak pusing. Aku baru tersadar ketika mendengar jeritan Vio. Vio terjatuh ke bawah jok. Es krim yang tadi dipegangnya sudah berlepotan di kursi.
Aku menarik Vio perlahan, tapi tangisnya makin kencang. Ya Tuhan, badanku lemas seketika. Kening Vio berlumuran darah. Aku menjerit tertahan, suaraku tidak bisa keluar.
Aku keluar dari mobil sambil menggendong Vio yang terus menangis kesakitan. Orang-orang di sekeliling menghampiriku.
“Cepat bawa ke rumah sakit,” Teriak orang-orang.
Aku memeluk Vio sambil tanganku menutup lukanya, berharap darah yang keluar bisa berhenti. Aku mengikuti orang-orang yang membawaku ke sebuah mobil. Panik menyergapku. Entah kenapa aku malah menangis.
“Tahan ya, sayang,” Bisikku pelan. Tangis Vio tidak sekeras tadi, tapi mukanya nampak kesakitan. Aku terus menerus mencium pipinya.
Sampai di rumah sakit, perawat-perawat nampak tanggap. Mereka segera menghampiriku dan menggambil Vio dari gendonganku. Aku terus mengikuti mereka sampai ruang UGD.
“Ibu tunggu disini ya,” Kata salah seorang perawat. Seluruh tubuhku terasa dingin.
“Sudah, jangan panik,” Seseorang menepuk pundakku perlahan. Aku tersentak kaget dan menoleh ke sampingku. Oiya, rupanya orang yang membawaku dan Vio ke rumah sakit tadi. Saking paniknya, aku sampai lupa mengucapkan terima kasih.
“Makasih buat bantuannya…,” Kata-kataku terhenti mendadak. Lidahku tiba-tiba kelu. Seluruh tubuhku terasa gemetaran. Kenapa harus dia?!
“Kamu baik-baik aja kan?” Tanyanya sambil terus menatapku.

[ “Dia hamil,” Kata Nino lirih. Suaranya hampir tidak terdengar. Rasanya sudah tidak ada ruang buatku bernafas, dadaku terasa sesak.
“Tapi aku berani sumpah, aku dijebak. Ini tidak seperti yang kamu pikirkan,” Mukaku terasa panas, air mata perlahan mengalir dari mataku. Layar laptop di depanku kelihatan kabur. Aku menatap nama-nama undangan yang ada di layar, rasanya ingin kuhancurkan undangan yang berserakan di sekelilingku. Aku marah pada Nino, aku marah pada keadaan.
“Terus apa guna semua ini,” Aku menghamburkan beberapa undangan yang ada di hadapanku. Ini bukan yang aku mau. Satu bulan lagi, undangan sudah dicetak, gedung sudah disewa, baju tinggal fitting, semuanya hampir selesai. Kenapa hal seperti ini harus terjadi.
“Kamu bakal tetap nikah kok, tapi bukan denganku,” Kataku menahan amarah dan sedih yang tidak bisa aku ungkapkan lagi.
“Na, aku minta maaf. Sumpah, aku juga korban. Aku bakal buktikan kalau bukan aku yang hamilin dia,” Kata Nino. Saat itu juga aku merasa jijik melihat Nino.
“Nggak perlu, aku sudah nggak percaya sama kamu. Mungkin jodohmu itu bukan aku. Jadi terimalah,” ]

“Na, kamu baik-baik aja kan?” Aku tersentak.
“Ya, baik-baik aja kok. Kamu apa kabar?” Tanyaku sambil berusaha tersenyum. Sudah lima tahun berlalu, sebaiknya saat inilah kulupakan semua yang pernah terjadi.
“Seperti yang kamu lihat,” Jawab Nino sambil tersenyum juga. Aku menatap Nino sekilas, dia banyak berubah.
“Kamu gemukan ya,” Kataku. Nino cuma tersenyum.
“Oya, suamimu mana?” Tanyanya. Sesaat aku terdiam.
“Ng… ada kok,” Sahutku singkat. Apa aku juga harus bertanya dimana istrinya, dimana wanita yang merebut dia dari aku, dimana wanita yang sudah membuat aku hampir putus asa dengan kehidupanku.
Seorang perawat membuka pintu UGD. Aku bergegas menghampirinya.
“Lukanya sudah dijahit, bu. Setelah ini langsung ambil obat ke apotek ya, bu,” Kata perawatnya. Aku mengganguk dan mengucapkan terima kasih.
Vio terbaring dengan kening diperban. Dia langsung berteriak memanggilku.
“Mama, sakit,” Rengeknya.
“Vio kan anak mama yang paling hebat, nggak boleh nangis ya,” Aku mengelus rambutnya perlahan.
“Vio tunggu disini dulu, mama mau ambil obat dulu ya,” Kataku lagi. Vio menggeleng dan menahan tanganku.
“Sama om aja mau?” Nino tiba-tiba di sampingku. Lama Vio menatap Nino. Dan ajaib Vio mengganguk sambil tersenyum. Tangannya disorongkan, tanda minta digendong. Nino mengendong Vio sambil mengajaknya bercanda.
Vio bukan anak yang pemalu, tapi dia jarang sekali mudah akrab dengan orang yang baru dikenalnya. Sama sepertiku, yang selalu waspada dengan orang asing. Tapi kali ini sepertinya berbeda.
Aku menatap Vio yang ada digendongan Nino, rasanya ada yang bergetar di hatiku dan mataku mendadak terasa panas.
“Ayo aku temanin ambil obatnya,” Kata Nino. Aku tidak tahu apa perasaan ini. Aku senang Vio bisa cepat akrab dengan Nino, tapi… entahlah.
Mataku kuarahkan ke sekeliling. Nino dan Vio tidak kelihatan. Beberapa saat setelah menemani aku antri di apotek, Vio merengek pengen pipis. Sampai aku selesai antri, mereka berdua tidak kelihatan. Entah kenapa aku jadi panik, takut Nino membawa pergi Vio.
Sekelebat bayangan muncul di pikiranku. Jeritan Vio, teriakan amarah Nugraha, dan tangisanku. Masih lekat sekali di ingatanku. Malam itu saat Nugraha membawa Vio pergi, aku bisa gila seandainya Vio tidak bisa kembali padaku.
“Mamaaaa….!” Teriakan Vio menyadarkanku sekaligus membuatku lega.
“Sudah?” Tanya Nino. Aku mengganguk.
“Kok es krim lagi?” Tanyaku pada Vio. Dia terus menjilat es krimnya.
“Kan yang tadi nggak sempat dimakan,”
“Sudah bilang makasih belum sama om Nino,” Vio mengganguk sambil terus menjilat es krimnya.
“Antarkan kami ke tempat tadi aja,” Kataku pada Nino. Aku baru ingat mobilku kutinggalkan begitu saja tadi.
“Mobilmu biar nanti aku yang urus, jangan terlalu dipikirkan,” balas Nino. Aku mengambil Vio dari gendongan Nino dan kemudian membuka pintu mobil Nino.
“Violin Victoria Farina, mau kemana kita sekarang?” Kata Nino sambil mengelus pipi Vio. Vio cekikikan. Aku menatap Vio dan Nino bergantian, rupanya mereka sudah akrab. Dan entah kenapa dadaku terasa berdebar, antara sakit dan bahagia.
“Ke rumah om. Kan tadi sudah janji mau nunjukin kelinci yang gedeeee tuh,”
Hampir saja aku tertawa mendengarnya. Kelinci-kelinci itu. Dulu aku yang paling rajin mengurus kelinci Nino. Aku masih ingat, bahkan ada satu kelinci yang dinamakan sama dengan namaku. Tiba-tiba aku tersadar, semua itu cuma masa lalu.
“Kita pulang dulu ya, sayang. Nanti kapan-kapan baru main ke rumah om Nino. Vio istirahat dulu, nanti lukanya sakit lagi loh,” Kataku dengan nada cemas. Jangan sampai keluarga Nino melihatku, apalagi istrinya. Mereka orang-orang yang paling tidak mau aku temui.
“Nggak mau…! Nggak mau! Pokoknya Vio mau lihat kelinci,” Vio menjerit setengah menangis. Nino menatapku.
“Nggak Vio, kita harus pulang dulu,” Bujukku lagi. Vio menjerit makin keras.
“Iya, tapi sebentar aja ya,” Kataku akhirnya. Vio tersenyum, begitu juga dengan Nino. Kenapa dia tidak melarang aku datang ke rumahnya?
“Makasih mama! Mama baik deh,” Vio mencium pipiku sekilas. Aku jadi serba salah. Apa tanggapan keluarga Nino kalau tiba-tiba aku datang? Gimana dengan istrinya, anaknya?
Aku masih hafal sekali jalan menuju rumah Nino. Dulu, jalan inilah yang hampir tiap hari aku lalui. Dadaku terasa sesak ingat ini semua.
“Sudah sampai,” Kata Nino. Vio menjerit-jerit senang, sepeti lupa dengan sakitnya.
“Aku tunggu disini aja ya. Kalian nggak lama kan?” Kataku pura-pura sibuk dengan handphone.
“Ayo, ma!” Vio menarik tanganku.
“Kata om Nino kelincinya baru punya anak,” Kata Vio lagi.
“Ayo, nggak apa-apa kok,” Nino juga ikut mendesakku.
“Nino, please…,” Rasanya aku sudah hampir nangis.
Seseorang tiba-tiba muncul dari rumah Nino. Mamanya Nino! Melihatku, mamanya bergegas menghampiriku.
“Nana, apa kabar? Sudah lama banget kita nggak ketemu ya?”
Mau tidak mau aku keluar dari mobil dan menyalami tante Hani. Rasanya kalau bisa aku ingin menghilang aja sejauh mungkin atau tenggelam saja ke dasar bumi.
“Aduh, tante kangen banget sama kamu,” Tante Hani memelukku. Aku bingung mau bicara apa. Dulu, aku selalu punya bahan pembicaraan jika bersama tante Hani. Kata Nino, kami sudah mirip ibu dan anak. Kali ini, aku cuma bisa membisu. Rasanya sulit sekali menyatukan jarak yang sudah terlanjur aku buat.
“Ini anakmu? Cantiknya, mirip mamanya ya. “Namanya siapa, sayang?” Tante Hani menghampiri Vio.
“Vio,” Jawab Vio singkat. Matanya sudah jelalatan mencari kelinci yang dibilang Nino tadi.
“Oya, ayo masuk. Tante sendirian di rumah. Om lagi dinas ke Semarang,” Tante Hani menarik tanganku.
“Lihat kelinci, om!” Nino membawa Vio ke kebun belakang. Mau tidak mau aku ikut. Tante Hani sudah masuk ke rumahnya.
Vio menjerit-jerit senang ketika melihat bayi-bayi kelinci yang lagi menyusui induknya. Aku cuma diam. Rasanya aku tidak bersemangat dengan keadaan seperti ini.
Mataku kuedarkan ke sekeliling. Kenapa sulit sekali menghirup udara segar dengan keadaan seperti ini, seperti ada yang tersekat di saluran pernafasanku.
Aku membisu sambil memikirkan kata-kata untuk memulai pembicaraan dengan Nino. Entahlah, sepertinya hati kecilku merayakan pertemuanku lagi dengan Nino, tapi pikiranku berkata lain. Mengingat semua luka yang pernah aku rasakan, sepertinya Nino tidak berhak mendapat perlakuan baik dariku. Ternyata, aku belum bisa memaafkan Nino.
“Istrimu mana?” Akhirnya kata-kata itu keluar juga. Nino menatapku sambil tersenyum. Aku memalingkan muka, aku tidak suka dengan senyumannya.
“Mau kenalan?” Tanyanya. Aku diam. Dalam hati aku memaki diriku sendiri, kenapa aku selalu menyakiti diri sendiri.
“Aku belum menikah, Na,” Kata Nino perlahan. Aku menatap Nino tidak percaya.
“Beberapa saat setelah kamu pergi, aku akhirnya bisa membuktikan kalau anak yang dikandung Karin bukan anakku. Malam itu aku memang mabuk, Karin juga. Pacar Karin-lah dalang semua ini. Dia memasukkan Karin ke kamar yang sama denganku. Aku tidak tahu apa maksudnya. Untunglah ada beberapa teman Karin yang mau jadi saksi kalau ini semua kerjaan pacarnya Karin. Setelah semuanya jelas, kamu sudah pergi,” Air mataku perlahan jatuh. Kenapa waktu harus mempermaikan seperti ini?
“Sayang ya, sepertinya aku terlambat,” Kataku pelan, hampir tidak terdengar.
“Kamu nggak pernah terlambat buatku, Na,” Nino menggengam tanganku. Sepertinya jantungku berhenti mendadak. Aku menatap Vio yang terus berbicara dengan kelinci-kelinci yang ada di dalam kandang.
“Aku sudah menikah, Nino,” Suaraku melemah.
“Ya, aku tahu. Bahkan sampai rencana kepulanganmu juga aku tahu. Juga, tentang mantan suamimu,” Aku tersentak.
“Kamu tahu semuanya?” “Sebenarnya waktu tahu kamu di Jakarta, aku sudah mau menyusul. Tapi kuurungkan waktu tahu kamu sudah menikah. Saat itu kupikir mungkin benar yang pernah kamu katakan kalau kamu bukan jodohku. Tapi sekarang aku berpikir lagi, waktu memang mempermainkan kita, tapi aku yakin Tuhan punya rencana buat kita,”
“Om Nino, Vio minta anak kelinci yang belang-belang coklat tuh. Boleh ya, om,” Tiba-tiba Vio datang dan bergelayut manja di lengan Nino.
“Om kasi semuanya deh buat Vio,”
“Benaran?” Wajah Vio langsung berbinar. “Tapi Vio sama mama harus tinggal disini,” Kata Nino. Vio menatapku. Aku cuma tersenyum membalasnya.
“Horeee…!” Teriak Vio senang dan kembali ke kelinci-kelincinya lagi.
Nino menggenggam tanganku lebih erat. Aku sudah tidak punya kekuatan untuk membalas genggaman tangannya. Bukan, aku bukan tidak suka dengan gengaman tangannya. Aku bahkan terlalu bahagia sampai lupa betapa sebenarnya lelaki inilah yang paling aku inginkan dari dulu.
END

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Gaun Putih

Aku kembali menangis dikamar, memegang buku diariku yang basah karena cucuran air mata. Mengapa hal ini selalu terulang kembali.

Namaku Anti, sekolah disekolah ternama dijakarta. Aku benci tempat itu. Setiap hari dan dimana pun. Sakit, rasanya aku ingin mati.

Pagi ini aku kembali bersekolah disana setelah sebulan lamanya kami libur dari belajar. Mungkin pada kebanyakan orang senang bertemu kembali dengan temannya, aku? tidak. Aku tidak mungkin memiliki teman disana. Baru saja memasuki gerbang, aku sudah disambut mereka. Batu,tanah,makanan,sampah, ya! mereka melempariku dengan itu. Awalnya sangat sakit, sudah terbiasa kok. Mungkin, karena penampilanku yang tidak cocok. hm, aku bersekolah ditempat yang sangat sangat high class. aku dimasukkan disini oleh orang tua angkatku. Orang tua kandungku telah meninggalkanku selamanya saat aku masih berumur 2 tahun. Aku sangat merindukan mereka. "Cupu!" "Sok pintar lo!" "Anak Pungut!" aku selalu bertemu dengan kata kata itu. Hari hariku memang seperti ini.

Aku selalu berdoa kepada tuhan, meminta ampun padanya. "Ya tuhan, aku tahu ini cobaan darimu. aku akan mencoba selalu sabar menghadapinya. Tabahkanlah hati hambamu ini ya Tuhan. dan ampunilah dosa mereka ya Tuhan. Amin" .

Diaryku hampir tidak dapat ditemui air mata disetiap lembarannya. Menuliskan apa yang aku alami, walau aku tahu umurku takkan sampai tua nanti.

Hari itu batukku sangat parah sekali, darah tercecer ditanganku. Tidak mungkin orang tua angkatku yg selama ini menyiksaku, akan memberikanku uang untuk ke dokter. Untung saja orang tua kandungku memberikanku 2 buah cincin perkawinan mereka. Aku menggadaikannya, lalu ke rumah sakit terdekat. Setelah di periksa, ternyata aku mengidap penyakit Leukimia. Dokter menyarankanku untuk melakukan operasi jika tidak umurku tidak akan lama lagi, tapi apadaya uangku tidak cukup untuk itu. Apakah ini cara Tuhan untuk menjauhkanku dari mereka? Aku percaya Tuhan sayang aku.

Hari ini adalah hari terakhirku bersekolah disekolah ini. Semoga penderitaanku akan berkurang setelah ini. Aku telah menyiapkan gaun terindahku untuk acara ini. Gaun putih pemberian alm. Ibuku dengan surat didalamnya. Aku tidak tahu mengapa ibuku memberikan gaun ini untukku. Aku senang memakainya diacara malam ini. Aku telah mempersiapkan sebuah persembahan untuk guru guruku. Tapi, aku tidak memiliki orang tua seperti yang lainnya. Orang tua angkatku akan menghadiri pesta bersama anaknya yang kebetulan juga seangkatan denganku.

Tidak lupa aku meminum obatku sebelum aku pergi dari rumah. Canggung rasanya berdiri diantara teman temanku yang pergi bersama orang tuanya. Tidak seperti biasanya, apakah mereka sudah berubah? baguslah.

Tiba saatnya aku membacakannya didepan mereka semua. Entah kenapa mereka hanya diam menatapku saat aku membacakannya. Aku menangis membacakan diary yang selama ini kutulis. Entah seperti sebuah sinetron atau hanya dongeng. Aku hanya ingin mereka tahu. Selang beberapa lembar diaryku, percikan darah keluar dari mulutku dan mengenai lembaran diary. Dengan cepat rasa sakit itu menjalar keseluruh tubuhku. Aku tidak berdaya, aku tidak sanggup untuk berdiri lagi. Hembusan Nafasku yang semakin berkurang. Aku merebahkan diri diatas panggung tersebut, memeluk diaryku dengan alas gaun putih peninggalan mama, perlahan mata ini tertutup seraya nafasku telah terhenti.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
Free Website templatesSEO Web Design AgencyMusic Videos OnlineFree Wordpress Themes Templatesfreethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree Web Templates