Air Mata Tua
Cerita pendek atau sering disingkat
sebagai cerpen adalah suatu bentuk prosa naratif fiktif. Cerita
pendek cenderung padat dan langsung pada tujuannya dibandingkan karya-karya
fiksi yang lebih panjang, seperti novella (dalam pengertian modern) dan novel. Karena
singkatnya, cerita-cerita pendek yang sukses mengandalkan teknik-teknik sastra
sepertitokoh, plot, tema, bahasa dan insight secara lebih luas dibandingkan dengan
fiksi yang lebih panjang. Ceritanya bisa dalam berbagai jenis.
Buru-buru aku menarik trolley bagku, tas selempang besarku ternyata
mengganggu langkah kakiku. Suasana ribut dan penuh sesak. Aku menghela
nafas panjang, mencoba mencari udara segar.
“Mama, Vio haus…,” Tangan kiriku ditarik perlahan. Aku tersenyum menatap wajahnya dan menghapus keringat di keningnya.
“Pelan-pelan minumnya,” Aku menunduk dan membuka botol minumnya.
Aku menarik tas selempangku dan meletakkannya di atas trolley bag.
Kugendong Vio dalam pelukanku. Dia menyandarkan kepalanya di bahuku.
Delay berjam-jam di Soekarno Hatta dan cuaca yang lagi tidak bagus
membuat perjalanan terasa melelahkan.
Bandara Supadio Pontianak, sudah hampir lima tahun sejak kejadian
itu. Selamat datang kembali dan semoga semuanya tetap menyenangkan.
Dulu aku pergi meninggalkan kota ini setelah kalah. Kalah melawan
siapa? Entahlah, aku cuma merasa seperti seorang pecundang. Ya, aku
memang pengecut dan terlalu mudah menyerah. Setelah sekian lama aku
sadar, ini semua tidak ada gunanya. Buat apa aku bersembunyi dan
melarikan diri seperti ini. Toh, sekarang aku sudah punya kehidupan
sendiri.
Rasanya kepulanganku kali ini juga menunjukkan kekalahanku lainnya.
Aku pergi karena kalah, kembali juga karena kalah. Tidak! Kali ini aku
bukan kalah. Buktinya aku malah merasa lebih baik.
Derit suara roda dan riuh suara orang-orang bercampur satu. Aku
kewalahan menarik trolley bag dengan Vio di gendonganku, dia sudah
setengah tertidur. Aku menghentikan langkahku di depan pelataran
bandara.
Sejenak kuhirup udara yang ada di sekelilingku. Aroma udara ini sudah
lama hampir kulupakan. Aroma hujan bercampur aroma tanah. Dadaku terasa
sesak. Kuhembuskan nafas, membuang semua beban yang terus menari-nari
di kepalaku.
Seorang supir taxi menghampiriku, aku menyebutkan tempat tujuanku. Si
supir mengganguk dan kemudian membantuku membawa tasku. Aku duduk di
belakang supaya bisa membaringkan Vio, dia sudah nampak kelelahan. Aku
menciumnya sekilas. Kuambil boneka spongebob kesukaannya sebagai bantal
dan membiarkan dia tertidur di pahaku.
Hujan rintik-rintik masih mengiringi sepanjang jalan. Aku termenung
sambil melihat keluar. Jantungku berdegub dan terasa sulit bernafas. Aku
menarik nafas panjang, semuanya pasti bakal baik-baik saja.
—
“Mama, bukain es krimnya,” Rengek Vio. Aku menoleh sekilas.
“Sebentar ya, sayang. Tunggu di lampu merah,”
Ini hari pertamaku membawa Vio mengelilingi kota Pontianak. Dari pagi
dia sudah merengek-rengek minta jalan-jalan, tidak perduli kakeknya
yang membujuk akan membawanya ke tambak udang nanti sore. Yang dia mau,
harus pagi ini.
Mobilku melintasi jalan Sultan Abdurrahman. Seperti pagi di lima
tahun yang lalu, jalan ini selalu macet jika pagi. Sesaknya jalan karena
pekerja kantoran dan anak-anak sekolah berebutan menguasai jalan.
Aku mengelus rambut Vio perlahan. Rambut ikal Vio terasa lembut di
tanganku. Satu hal yang membuat Vio nampak berbeda denganku, hanya
rambutnya.
Aku memiliki rambut hitam, tebal dan lurus, sedang rambut Vio agak
kemerahan, tipis, dan bergelombang. Kata orang, Vio mirip Nugraha. Tapi
aku selalu menyangkal, lihatlah matanya, hidungnya, mulutnya, semuanya
mirip aku. Bahkan dia juga cerewet dan keras kepala sepertiku.
“Besok beli yang rasa stroberi ya, ma,” Kata Vio dengan nada cadelnya.
“Tadi kenapa nggak ambil dua,”
“Nggak mau, hari ini Vio pengen makan yang coklat dulu. Besok baru
yang stroberi,” Katanya lagi. Aku tertawa mendengar perkataannya.
Vio bernyanyi mengikuti alunan lagu yang keluar dari speaker mobil.
Entah lagu apa yang dinyanyikannya, yang pasti bisa membuat aku
tersenyum menahan tawa. Setelah semua hal berat yang telah kulalui,
kurasa Vio-lah yang menguatkanku.
Tiba-tiba sebuah hentakan keras dari belakang membuat aku terbentur
ke depan. Kepalaku mendadak pusing. Aku baru tersadar ketika mendengar
jeritan Vio. Vio terjatuh ke bawah jok. Es krim yang tadi dipegangnya
sudah berlepotan di kursi.
Aku menarik Vio perlahan, tapi tangisnya makin kencang. Ya Tuhan,
badanku lemas seketika. Kening Vio berlumuran darah. Aku menjerit
tertahan, suaraku tidak bisa keluar.
Aku keluar dari mobil sambil menggendong Vio yang terus menangis kesakitan. Orang-orang di sekeliling menghampiriku.
“Cepat bawa ke rumah sakit,” Teriak orang-orang.
Aku memeluk Vio sambil tanganku menutup lukanya, berharap darah yang
keluar bisa berhenti. Aku mengikuti orang-orang yang membawaku ke sebuah
mobil. Panik menyergapku. Entah kenapa aku malah menangis.
“Tahan ya, sayang,” Bisikku pelan. Tangis Vio tidak sekeras tadi,
tapi mukanya nampak kesakitan. Aku terus menerus mencium pipinya.
Sampai di rumah sakit, perawat-perawat nampak tanggap. Mereka segera
menghampiriku dan menggambil Vio dari gendonganku. Aku terus mengikuti
mereka sampai ruang UGD.
“Ibu tunggu disini ya,” Kata salah seorang perawat. Seluruh tubuhku terasa dingin.
“Sudah, jangan panik,” Seseorang menepuk pundakku perlahan. Aku
tersentak kaget dan menoleh ke sampingku. Oiya, rupanya orang yang
membawaku dan Vio ke rumah sakit tadi. Saking paniknya, aku sampai lupa
mengucapkan terima kasih.
“Makasih buat bantuannya…,” Kata-kataku terhenti mendadak. Lidahku
tiba-tiba kelu. Seluruh tubuhku terasa gemetaran. Kenapa harus dia?!
“Kamu baik-baik aja kan?” Tanyanya sambil terus menatapku.
—
[ “Dia hamil,” Kata Nino lirih. Suaranya hampir tidak terdengar.
Rasanya sudah tidak ada ruang buatku bernafas, dadaku terasa sesak.
“Tapi aku berani sumpah, aku dijebak. Ini tidak seperti yang kamu
pikirkan,” Mukaku terasa panas, air mata perlahan mengalir dari mataku.
Layar laptop di depanku kelihatan kabur. Aku menatap nama-nama undangan
yang ada di layar, rasanya ingin kuhancurkan undangan yang berserakan di
sekelilingku. Aku marah pada Nino, aku marah pada keadaan.
“Terus apa guna semua ini,” Aku menghamburkan beberapa undangan yang
ada di hadapanku. Ini bukan yang aku mau. Satu bulan lagi, undangan
sudah dicetak, gedung sudah disewa, baju tinggal fitting, semuanya
hampir selesai. Kenapa hal seperti ini harus terjadi.
“Kamu bakal tetap nikah kok, tapi bukan denganku,” Kataku menahan amarah dan sedih yang tidak bisa aku ungkapkan lagi.
“Na, aku minta maaf. Sumpah, aku juga korban. Aku bakal buktikan
kalau bukan aku yang hamilin dia,” Kata Nino. Saat itu juga aku merasa
jijik melihat Nino.
“Nggak perlu, aku sudah nggak percaya sama kamu. Mungkin jodohmu itu bukan aku. Jadi terimalah,” ]
—
“Na, kamu baik-baik aja kan?” Aku tersentak.
“Ya, baik-baik aja kok. Kamu apa kabar?” Tanyaku sambil berusaha
tersenyum. Sudah lima tahun berlalu, sebaiknya saat inilah kulupakan
semua yang pernah terjadi.
“Seperti yang kamu lihat,” Jawab Nino sambil tersenyum juga. Aku menatap Nino sekilas, dia banyak berubah.
“Kamu gemukan ya,” Kataku. Nino cuma tersenyum.
“Oya, suamimu mana?” Tanyanya. Sesaat aku terdiam.
“Ng… ada kok,” Sahutku singkat. Apa aku juga harus bertanya dimana
istrinya, dimana wanita yang merebut dia dari aku, dimana wanita yang
sudah membuat aku hampir putus asa dengan kehidupanku.
Seorang perawat membuka pintu UGD. Aku bergegas menghampirinya.
“Lukanya sudah dijahit, bu. Setelah ini langsung ambil obat ke apotek
ya, bu,” Kata perawatnya. Aku mengganguk dan mengucapkan terima kasih.
Vio terbaring dengan kening diperban. Dia langsung berteriak memanggilku.
“Mama, sakit,” Rengeknya.
“Vio kan anak mama yang paling hebat, nggak boleh nangis ya,” Aku mengelus rambutnya perlahan.
“Vio tunggu disini dulu, mama mau ambil obat dulu ya,” Kataku lagi. Vio menggeleng dan menahan tanganku.
“Sama om aja mau?” Nino tiba-tiba di sampingku. Lama Vio menatap
Nino. Dan ajaib Vio mengganguk sambil tersenyum. Tangannya disorongkan,
tanda minta digendong. Nino mengendong Vio sambil mengajaknya bercanda.
Vio bukan anak yang pemalu, tapi dia jarang sekali mudah akrab dengan
orang yang baru dikenalnya. Sama sepertiku, yang selalu waspada dengan
orang asing. Tapi kali ini sepertinya berbeda.
Aku menatap Vio yang ada digendongan Nino, rasanya ada yang bergetar di hatiku dan mataku mendadak terasa panas.
“Ayo aku temanin ambil obatnya,” Kata Nino. Aku tidak tahu apa
perasaan ini. Aku senang Vio bisa cepat akrab dengan Nino, tapi…
entahlah.
Mataku kuarahkan ke sekeliling. Nino dan Vio tidak kelihatan.
Beberapa saat setelah menemani aku antri di apotek, Vio merengek pengen
pipis. Sampai aku selesai antri, mereka berdua tidak kelihatan. Entah
kenapa aku jadi panik, takut Nino membawa pergi Vio.
Sekelebat bayangan muncul di pikiranku. Jeritan Vio, teriakan amarah
Nugraha, dan tangisanku. Masih lekat sekali di ingatanku. Malam itu saat
Nugraha membawa Vio pergi, aku bisa gila seandainya Vio tidak bisa
kembali padaku.
“Mamaaaa….!” Teriakan Vio menyadarkanku sekaligus membuatku lega.
“Sudah?” Tanya Nino. Aku mengganguk.
“Kok es krim lagi?” Tanyaku pada Vio. Dia terus menjilat es krimnya.
“Kan yang tadi nggak sempat dimakan,”
“Sudah bilang makasih belum sama om Nino,” Vio mengganguk sambil terus menjilat es krimnya.
“Antarkan kami ke tempat tadi aja,” Kataku pada Nino. Aku baru ingat mobilku kutinggalkan begitu saja tadi.
“Mobilmu biar nanti aku yang urus, jangan terlalu dipikirkan,” balas
Nino. Aku mengambil Vio dari gendongan Nino dan kemudian membuka pintu
mobil Nino.
“Violin Victoria Farina, mau kemana kita sekarang?” Kata Nino sambil
mengelus pipi Vio. Vio cekikikan. Aku menatap Vio dan Nino bergantian,
rupanya mereka sudah akrab. Dan entah kenapa dadaku terasa berdebar,
antara sakit dan bahagia.
“Ke rumah om. Kan tadi sudah janji mau nunjukin kelinci yang gedeeee tuh,”
Hampir saja aku tertawa mendengarnya. Kelinci-kelinci itu. Dulu aku
yang paling rajin mengurus kelinci Nino. Aku masih ingat, bahkan ada
satu kelinci yang dinamakan sama dengan namaku. Tiba-tiba aku tersadar,
semua itu cuma masa lalu.
“Kita pulang dulu ya, sayang. Nanti kapan-kapan baru main ke rumah om
Nino. Vio istirahat dulu, nanti lukanya sakit lagi loh,” Kataku dengan
nada cemas. Jangan sampai keluarga Nino melihatku, apalagi istrinya.
Mereka orang-orang yang paling tidak mau aku temui.
“Nggak mau…! Nggak mau! Pokoknya Vio mau lihat kelinci,” Vio menjerit setengah menangis. Nino menatapku.
“Nggak Vio, kita harus pulang dulu,” Bujukku lagi. Vio menjerit makin keras.
“Iya, tapi sebentar aja ya,” Kataku akhirnya. Vio tersenyum, begitu
juga dengan Nino. Kenapa dia tidak melarang aku datang ke rumahnya?
“Makasih mama! Mama baik deh,” Vio mencium pipiku sekilas. Aku jadi
serba salah. Apa tanggapan keluarga Nino kalau tiba-tiba aku datang?
Gimana dengan istrinya, anaknya?
Aku masih hafal sekali jalan menuju rumah Nino. Dulu, jalan inilah
yang hampir tiap hari aku lalui. Dadaku terasa sesak ingat ini semua.
“Sudah sampai,” Kata Nino. Vio menjerit-jerit senang, sepeti lupa dengan sakitnya.
“Aku tunggu disini aja ya. Kalian nggak lama kan?” Kataku pura-pura sibuk dengan handphone.
“Ayo, ma!” Vio menarik tanganku.
“Kata om Nino kelincinya baru punya anak,” Kata Vio lagi.
“Ayo, nggak apa-apa kok,” Nino juga ikut mendesakku.
“Nino, please…,” Rasanya aku sudah hampir nangis.
Seseorang tiba-tiba muncul dari rumah Nino. Mamanya Nino! Melihatku, mamanya bergegas menghampiriku.
“Nana, apa kabar? Sudah lama banget kita nggak ketemu ya?”
Mau tidak mau aku keluar dari mobil dan menyalami tante Hani. Rasanya
kalau bisa aku ingin menghilang aja sejauh mungkin atau tenggelam saja
ke dasar bumi.
“Aduh, tante kangen banget sama kamu,” Tante Hani memelukku. Aku
bingung mau bicara apa. Dulu, aku selalu punya bahan pembicaraan jika
bersama tante Hani. Kata Nino, kami sudah mirip ibu dan anak. Kali ini,
aku cuma bisa membisu. Rasanya sulit sekali menyatukan jarak yang sudah
terlanjur aku buat.
“Ini anakmu? Cantiknya, mirip mamanya ya. “Namanya siapa, sayang?” Tante Hani menghampiri Vio.
“Vio,” Jawab Vio singkat. Matanya sudah jelalatan mencari kelinci yang dibilang Nino tadi.
“Oya, ayo masuk. Tante sendirian di rumah. Om lagi dinas ke Semarang,” Tante Hani menarik tanganku.
“Lihat kelinci, om!” Nino membawa Vio ke kebun belakang. Mau tidak mau aku ikut. Tante Hani sudah masuk ke rumahnya.
Vio menjerit-jerit senang ketika melihat bayi-bayi kelinci yang lagi
menyusui induknya. Aku cuma diam. Rasanya aku tidak bersemangat dengan
keadaan seperti ini.
Mataku kuedarkan ke sekeliling. Kenapa sulit sekali menghirup udara
segar dengan keadaan seperti ini, seperti ada yang tersekat di saluran
pernafasanku.
Aku membisu sambil memikirkan kata-kata untuk memulai pembicaraan
dengan Nino. Entahlah, sepertinya hati kecilku merayakan pertemuanku
lagi dengan Nino, tapi pikiranku berkata lain. Mengingat semua luka yang
pernah aku rasakan, sepertinya Nino tidak berhak mendapat perlakuan
baik dariku. Ternyata, aku belum bisa memaafkan Nino.
“Istrimu mana?” Akhirnya kata-kata itu keluar juga. Nino menatapku
sambil tersenyum. Aku memalingkan muka, aku tidak suka dengan
senyumannya.
“Mau kenalan?” Tanyanya. Aku diam. Dalam hati aku memaki diriku sendiri, kenapa aku selalu menyakiti diri sendiri.
“Aku belum menikah, Na,” Kata Nino perlahan. Aku menatap Nino tidak percaya.
“Beberapa saat setelah kamu pergi, aku akhirnya bisa membuktikan
kalau anak yang dikandung Karin bukan anakku. Malam itu aku memang
mabuk, Karin juga. Pacar Karin-lah dalang semua ini. Dia memasukkan
Karin ke kamar yang sama denganku. Aku tidak tahu apa maksudnya.
Untunglah ada beberapa teman Karin yang mau jadi saksi kalau ini semua
kerjaan pacarnya Karin. Setelah semuanya jelas, kamu sudah pergi,” Air
mataku perlahan jatuh. Kenapa waktu harus mempermaikan seperti ini?
“Sayang ya, sepertinya aku terlambat,” Kataku pelan, hampir tidak terdengar.
“Kamu nggak pernah terlambat buatku, Na,” Nino menggengam tanganku.
Sepertinya jantungku berhenti mendadak. Aku menatap Vio yang terus
berbicara dengan kelinci-kelinci yang ada di dalam kandang.
“Aku sudah menikah, Nino,” Suaraku melemah.
“Ya, aku tahu. Bahkan sampai rencana kepulanganmu juga aku tahu. Juga, tentang mantan suamimu,” Aku tersentak.
“Kamu tahu semuanya?” “Sebenarnya waktu tahu kamu di Jakarta, aku
sudah mau menyusul. Tapi kuurungkan waktu tahu kamu sudah menikah. Saat
itu kupikir mungkin benar yang pernah kamu katakan kalau kamu bukan
jodohku. Tapi sekarang aku berpikir lagi, waktu memang mempermainkan
kita, tapi aku yakin Tuhan punya rencana buat kita,”
“Om Nino, Vio minta anak kelinci yang belang-belang coklat tuh. Boleh
ya, om,” Tiba-tiba Vio datang dan bergelayut manja di lengan Nino.
“Om kasi semuanya deh buat Vio,”
“Benaran?” Wajah Vio langsung berbinar. “Tapi Vio sama mama harus
tinggal disini,” Kata Nino. Vio menatapku. Aku cuma tersenyum
membalasnya.
“Horeee…!” Teriak Vio senang dan kembali ke kelinci-kelincinya lagi.
Nino menggenggam tanganku lebih erat. Aku sudah tidak punya kekuatan
untuk membalas genggaman tangannya. Bukan, aku bukan tidak suka dengan
gengaman tangannya. Aku bahkan terlalu bahagia sampai lupa betapa
sebenarnya lelaki inilah yang paling aku inginkan dari dulu.
END
Aku kembali menangis dikamar, memegang buku diariku yang basah karena
cucuran air mata. Mengapa hal ini selalu terulang kembali.
Namaku Anti, sekolah disekolah ternama dijakarta. Aku benci tempat itu.
Setiap hari dan dimana pun. Sakit, rasanya aku ingin mati.
Pagi ini aku kembali bersekolah disana setelah sebulan lamanya kami
libur dari belajar. Mungkin pada kebanyakan orang senang bertemu kembali
dengan temannya, aku? tidak. Aku tidak mungkin memiliki teman disana.
Baru saja memasuki gerbang, aku sudah disambut mereka.
Batu,tanah,makanan,sampah, ya! mereka melempariku dengan itu. Awalnya
sangat sakit, sudah terbiasa kok. Mungkin, karena penampilanku yang
tidak cocok. hm, aku bersekolah ditempat yang sangat sangat high class.
aku dimasukkan disini oleh orang tua angkatku. Orang tua kandungku telah
meninggalkanku selamanya saat aku masih berumur 2 tahun. Aku sangat
merindukan mereka. "Cupu!" "Sok pintar lo!" "Anak Pungut!" aku selalu
bertemu dengan kata kata itu. Hari hariku memang seperti ini.
Aku selalu berdoa kepada tuhan, meminta ampun padanya. "Ya tuhan, aku
tahu ini cobaan darimu. aku akan mencoba selalu sabar menghadapinya.
Tabahkanlah hati hambamu ini ya Tuhan. dan ampunilah dosa mereka ya
Tuhan. Amin" .
Diaryku hampir tidak dapat ditemui air mata disetiap lembarannya.
Menuliskan apa yang aku alami, walau aku tahu umurku takkan sampai tua
nanti.
Hari itu batukku sangat parah sekali, darah tercecer ditanganku. Tidak
mungkin orang tua angkatku yg selama ini menyiksaku, akan memberikanku
uang untuk ke dokter. Untung saja orang tua kandungku memberikanku 2
buah cincin perkawinan mereka. Aku menggadaikannya, lalu ke rumah sakit
terdekat. Setelah di periksa, ternyata aku mengidap penyakit Leukimia.
Dokter menyarankanku untuk melakukan operasi jika tidak umurku tidak
akan lama lagi, tapi apadaya uangku tidak cukup untuk itu. Apakah ini
cara Tuhan untuk menjauhkanku dari mereka? Aku percaya Tuhan sayang aku.
Hari ini adalah hari terakhirku bersekolah disekolah ini. Semoga
penderitaanku akan berkurang setelah ini. Aku telah menyiapkan gaun
terindahku untuk acara ini. Gaun putih pemberian alm. Ibuku dengan surat
didalamnya. Aku tidak tahu mengapa ibuku memberikan gaun ini untukku.
Aku senang memakainya diacara malam ini. Aku telah mempersiapkan sebuah
persembahan untuk guru guruku. Tapi, aku tidak memiliki orang tua
seperti yang lainnya. Orang tua angkatku akan menghadiri pesta bersama
anaknya yang kebetulan juga seangkatan denganku.
Tidak lupa aku meminum obatku sebelum aku pergi dari rumah. Canggung
rasanya berdiri diantara teman temanku yang pergi bersama orang tuanya.
Tidak seperti biasanya, apakah mereka sudah berubah? baguslah.
Tiba saatnya aku membacakannya didepan mereka semua. Entah kenapa mereka
hanya diam menatapku saat aku membacakannya. Aku menangis membacakan
diary yang selama ini kutulis. Entah seperti sebuah sinetron atau hanya
dongeng. Aku hanya ingin mereka tahu. Selang beberapa lembar diaryku,
percikan darah keluar dari mulutku dan mengenai lembaran diary. Dengan
cepat rasa sakit itu menjalar keseluruh tubuhku. Aku tidak berdaya, aku
tidak sanggup untuk berdiri lagi. Hembusan Nafasku yang semakin
berkurang. Aku merebahkan diri diatas panggung tersebut, memeluk diaryku
dengan alas gaun putih peninggalan mama, perlahan mata ini tertutup
seraya nafasku telah terhenti.